Siapa Menguasai Cerita, Menguasai Opini: Pentingnya Agenda Setting
Teori Pengaturan Agenda yang dirumuskan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw menggarisbawahi betapa besarnya pengaruh media dalam mempengaruhi urutan pentingnya berbagai isu di mata masyarakat umum.
Teori ini tidak menyatakan bahwa media memberitahukan kepada masyarakat tentang apa yang seharusnya mereka pikirkan, tetapi lebih pada hal-hal mana saja yang penting untuk diperbincangkan. Lewat proses pemilihan, pemberian bobot terhadap informasi tertentu serta seringkali mendengungkan kembali topik tersebut, media memiliki kekuatan dalam menentukan agenda yang nantinya akan menjadi prioritas utama bagi perhatian publik.
Dalam hal ini, media berfungsi sebagai “saluran” yang memutuskan apa saja topik yang pantas untuk diberitakan serta cara penyajiannya kepada publik.
Insiden yang terkait dengan Polda Kalimantan Selatan serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) “Mama Khas Banjar” menunjukkan secara langsung cara kerja agenda-setting di bidang komunikasi massa, lebih spesifik lagi dalam konteks media sosial.
Insiden itu dimulai dengan langkah polisi dalam melaksanakan pengenaan hukum pada pemilik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tersebut lantaran adanya beberapa pelanggaran aturan perizinan, termasuk masalah kepemilikan ijin edar produk serta proses distribusi makanan yang tak memenuhi standar regulasi.
Pelaksanaan hukum dalam hal ini, bila ditinjau dari sisi legal-formal, menjadi sebagian dari kewajiban lembaga guna memastikan perlindungan serta keselamatan pengguna jasa atau produk.
Akan tetapi, tanggapan masyarakat terhadap insiden tersebut mencerminkan pola yang unik. Sebaliknya dari penekanan pada aspek hukum dan keselamatan pangan, mayoritas cerita yang tersebar di media sosial malah mempresentasikan pemilik Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai korban dari tindakan keras aparat.
Pembuat cerita menggambarkan pelaku sebagai “ibunya penjaga kesejahteraan keluarga” yang berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan familiannya dalam situasi finansial sulit. Penyajian seperti itu menimbulkan simpati besar di kalangan masyarakat umum, dan pada saat bersamaan, Kepala Polisi Kalimantan Selatan dipersepsikan sebagai otoritas yang memberatkan beban bagi orang biasa.
Dalam kerangka Agenda Setting, hal ini menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap Kapolda Kalsel tidak semata-mata dibentuk oleh fakta hukum, tetapi oleh cara isu ini dibingkai oleh media dan media sosial.
Narratif utama yang muncul tidak berfokus pada aspek hukum, tetapi lebih kepada sisi emosi dan sentimen. Sosial media, terutama akun-akun dengan jangkauan luas atau influencer, memiliki peranan signifikan dalam mengemas kasus tersebut menjadi sebuah contoh ketidakadilan sosial. Mereka cenderung menekankan penderitaan dari para pebisnis UMKM, daripada memberikan gambaran lengkap tentang kerumitan hukum yang mendahului tindakan polisi.
Proses bingkai pesan ini memiliki kecenderungan bias kognitif yang signifikan. Saat masyarakat secara berkelanjutan diberi cerita dengan sentuhan emosi manusiawi, mereka lebih condong untuk tidak memperhatikan sudut pandang logis dan fakta.
Sehingga, pandangan masyarakat dibangun bukan atas dasar analisis hukum atau pemikiran obyektif, tetapi lebih disebabkan oleh persepsi yang sudah dipengaruhi oleh cara pengelolaan informasi media. Inilah tempat kuasanya penjadwalan agenda bekerja: media tidak perlu merubah kenyataan, mereka hanya perlu menentukan fakta apa saja yang akan diperlihatkan dan fakta apa saja yang akan dilewatkan.
Misalnya saja, dalam hal tersebut sangatlah langka menemui cerita yang mengupas tentang bahaya kesehatan terkait dengan barang makanan tanpa adanya persetujuan penjualan formal. Meski demikian, elemen ini sungguh esensial bagi perlindungan para pembeli.
Demikian juga, sedikit sekali narasi yang menggambarkan bahwa kasus hukum terkait dengan UMKM “Mama Khas Banjer” dijalankan sesuai dengan prosedur resmi dan legalitasnya. Lebih umum ditemukan justru gambaran visual maupun deskripsi lisan yang memposisikan pemilik UMKM tersebut sebagai lambang perjuangan warga biasa melawan otoritas tertentu.
Phenomenon ini menggambarkan betapa media, khususnya media sosial, mampu mempengaruhi pemandangan persepsi publik dengan kecepatan serta jangkauan yang luas di zaman digital. Di masa sekarang, siapapun bisa berperan sebagai penjaga gerbang informasi, dan cerita-cerita yang bersifat emosional cenderung lebih mudah tersebar daripada cerita-cerita formal-hukum.
Oleh karena itu, peran lembaga negara seperti polisi menjadi lebih rumit—notanya bukan sekadar menerapkan hukum, tapi juga menangani persepsi publik dengan menggunakan teknik komunikasi yang handal.
Harus disadari bahwa dalam masyarakat yang kian paham akan media, proses membentuk pendapat publik tak dapat dipisahkan dari interaksi komunikasi digital. Karena itu, para pejabat penegak hukum harus mengerti bahwa bersikap terbuka serta sanggup menyampaikan kebijakan hukum kepada masyarakat dengan jelas dan simpatetik merupakan hal yang amat vital.
Bekerja mengikuti aturan saja belum mencukupi; lebih dari itu, perlu menjelaskan dasar-dasar di balik keputusan hukum tersebut supaya tak ada celah antara realitas dan penafsiran.
Untuk menyelesaikannya, Teori Agenda Setting menyediakan kerangka analitis yang penting untuk memahami alasan di balik pergeseran persepsi bahwa kasus “Mama Khas Banjar” lebih sering diasosiasikan dengan kriminalisasi Usaha Mikro dan Menengah (UMKM) dibandingkan tindak pelaksanaan hukum.
Ini melebihi sekedar masalah hukum; ini juga terkait dengan aspek komunikasi dan cara pembentukan narasi serta penerimaannya di kalangan masyarakat. Dalam era di mana informasi dan opini kian mendominasi, orang atau kelompok yang menetapkan agenda-lah yang sebenarnya membentuk kesadaran publik.
Kekuatan Dalam Pemahaman Media serta Fungsi Moral dalam Komunikasi
Fenomena framing yang terjadi dalam kasus ini juga mengungkapkan pentingnya literasi media di kalangan masyarakat. Literasi media bukan hanya kemampuan untuk mengakses informasi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi informasi secara kritis.
Tanpa keterampilan ini, masyarakat rentan terhadap cerita satu arah yang penuh emosi dan berat sebelah, tanpa menguji kebenaran asal-usulnya atau menyertakan perspektif tambahan.
Pada situasi seperti ini, platform-media sosial yang berperan sebagai jalur primer dalam menyebarkan data sudah menjelma arena pertempuran ideologi yang dipenuhi oleh tujuan-tujuan tersimpan. Beberapa profil mungkin bertindak atas dorongan kepentingan politik, finansial, atau hanya untuk meraih perhatian dan ketenaran dengan cara mengeksploitasi sentimen massa.
Saat naras yang diciptakan ditujukan untuk menggugah amarah bersama, keadilan substansial biasanya terabaikan demi mencapai partisipasi (engagement) yang intens.
Aspek etika komunikasi juga menjadi sorotan penting. Media, baik arus utama maupun media sosial, memiliki tanggung jawab moral untuk menyajikan informasi secara berimbang.
Dalam kasus “Mama Khas Banjar”, kegagalan untuk mengangkat sisi hukum dan regulasi pangan sama artinya dengan menyesatkan publik secara tidak langsung. Ketika hanya satu sisi cerita yang ditampilkan, maka publik tidak diberi ruang untuk menilai secara utuh dan adil.
Konteks dalam Pelaksanaan Undang-Undang pada Zaman Digital
Casus ini pun menunjukkan kesulitan yang dialami oleh pejabat penegak hukum pada zaman digital. Di satu pihak, mereka diminta melakukan kewajiban dengan cara profesional serta mematuhi aturan. Akan tetapi, di sisi lain, mereka perlu bersaing dengan opini masyarakat umum yang bisa jadi bentuknya cuma dalam waktu singkat lewat kecepatan sebar informasi di jejaring sosial.
Penerapan aturan bagi pengusaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kerapkali menimbulkan konflik antara sisi ketentuan hukum dan perihal empati masyarakat. Apabila ditegakkan dengan keras, hal tersebut bisa dianggap sebagai sikap tak berperikemanusiaan atau bias terhadap kalangan bawah.
Apabila dibiarkan begitu saja, hal ini dapat membuat negara tampak tak peduli terhadap pengawasan ketaatan aturan serta keselamatan warganya. Karenanya, sangatlah vital bagi institusi pelaksana undang-undang untuk memadukan pendekatan komunikasi massa yang bijaksana dengan sikap simpatetik pada semua regulasi atau intervensi yang memiliki potensi menciptakan perdebatan.
Satu metode yang dapat digunakan adalah komunikasi pencegahan—di mana kita pertama-tama harus menyampaikan kepada publik tentang pentingnya taat hukum, konsekuensi dari pelanggaran tersebut, dan rincian mengapa tindakan hukum tertentu diberlakukan.
Maka, tindakan hukum tidak muncul mendadak di hadapan publik, tetapi justru dirasakan sebagai elemen dalam serangkaian proses panjang yang bertumpu pada kesejahteraan bersama.
Pengaturan Agenda dan Kaitannya dengan Demokrasi Digital
Teori Pengaturan Agenda masih sangat aktual sampai sekarang, khususnya dalam demokrasi digital tempat netizen memegang pengaruh kuat untuk menciptakan opini masyarakat. Meski begitu, dalam konteks tersebut, publik tidak hanya menjadi subjek dari daftar isi media saja, tapi juga pemain utama yang turut mengendalikan arah pembicaraan lewat postingan, komentar, serta gerakan online mereka.
Masalah utama selanjutnya muncul saat kekuatan tersebut dijalankan tanpa adanya pengendalian atau pemikiran moral. Aksi yang menyebar dengan cepat karena empati bisa jadi tidak merepresentasikan fakta sebenarnya. Di beberapa kesempatan, hal itu bahkan bisa mengacaukan jalannya proses peradilan, memberi tekan pada institusi penegak hukum, atau mendistorsi opini publik sehingga menyebabkan polarisasi semakin parah.
Oleh karena itu, dalam kerangka demokrasi, sangat vital bagi kita untuk mengatur hubungan antara hak berbicara bebas dengan pertanggungjawaban atas informasi. Area ruang publik secara daring perlu dipantau supaya tak disalahgunakan sebagai sarana mempengaruhi opini demi mendapatkan untung pribadi yang bisa membahayakan nilai-nilai keadilan serta aturan hukum. Pembuat materi konten, wartawan, dan pemakai platform jejaring sosial juga punya posisi utama guna melindungi mutu diskusi umum sehingga terus menerus bersifat logis, bermanfaat dari segi pengetahuan, serta sesuai norma-norma moral.
Kasus “Mama Khas Banjar” adalah contoh signifikan untuk memahami cara pembentukan narasi serta manipulasi persepsi masyarakat melalui interaksi dengan dynamic media.
Dengan menggunakan kerangka konsep Agenda Setting, kita mengenalinya sebagai cara di mana kuasa media berada dalam kemampuan mereka untuk menetapkan prioritas pemikiran publik, bukannya mendiktatorisasi isi pemikiran orang-orang.
Dalam dunia yang makin kompleks dan penuh arus informasi, masyarakat perlu dibekali dengan kecakapan literasi media agar tidak mudah terprovokasi oleh framing sempit. Sementara itu, institusi publik, termasuk kepolisian, harus mampu berkomunikasi secara efektif dan transparan agar tidak kehilangan legitimasi hanya karena kalah dalam pertarungan narasi.
Demokrasi yang baik bukan hanya diukur dari adanya kebebasan berekspresi, namun juga oleh kemampuan untuk menangani informasi dengan bijaksana dan menciptakan opini masyarakat yang adil serta didasarkan pada kenyataan.
Post Comment