MK Diminta Kembalikan Wewenang Central Authority kepada Kejaksaan

MK Diminta Kembalikan Wewenang Central Authority kepada Kejaksaan



, Jakarta — MK disarankan untuk menyerahkanembali wewenang
central authority
Ke Kejaksaan Agung tidak lagi berada di bawah Kementerian Hukum dan Kementerian HAM karena sudah dibagi menjadi tiga bagian.

Central authority
Merupakan badan sentral yang bertugas saat terjadi interaksi saling melengkapi dalam pelaksanaan hukum di luar negeri antara Indonesia dan negara-negara lainnya. Lembaga ini mempunyai wewenang.
central authority
Akan juga menjadi perwakilan negara dalam hal penegakan hukum antar negara.

Para pemohon yang menantang keberadaan wewenang central authority tersebut merupakan jaksa aktif yaitu Olivia Sembiring sebagai Pemohon I, Ariawan Agustiartono sebagai Pemohon II, Rudi Pradisetia Sudiradja sebagian Pemohon III, Muhammad Ibnu Fajar Rahim sebagai Pemohon IV, serta Yan Aswarih menjadi Pemohon V.

Empat penggugat tersebut mengevaluasi isi substansial dari Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 24, Pasal 33 ayat (2), Pasal 35 ayat (2) bagian b, Pasal 36 ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44, serta Pasal 23 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan juga Pasal 1 angka 10 di Undang-Undang No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Antarnegara sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945.

Pelapor mengungkapkan bahwa proses ekstradisi serta kerja sama hukuman semestinya menjadi tugas lembaga penegak hukum yang berada di bawah yurisdiksi entitas lain terkait sistem peradilan seperti Kepolisian atau Jaksa.

Akhirnya, aturan tersebut dapat menghasilkan ketidakjelasan hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum sebab istilah yang digunakan oleh Keputusan Menteri Kehakiman No. 1/1979 serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang No. 1/2006 sudah berkembang menjadi tiga departemen yaitu Depertemen Hukum, Departemen HAM, dan Departemen Imigrasi dan Pemasyarakatan,” ungkap Olivia dari Jakarta pada hari Kamis (15/5/2025).

Dia menjelaskan bahwa Kejaksaan sering kali menghadapi rintangan serta kesulitan saat memproses kerjasama hukum internasional.

Menurut Olivia, Kejaksaan selalu memakan waktu lama untuk mengurus kasus ini karena perlu melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, yang telah menjadi otoritas pusat sejak 2018.

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 12 Tahun 2022 yang berjudul “Penanganan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana”, proses pengolahan permintaan bantuan timbal balik mencakup periode mulai dari saat menerima permohonan sampai dengan pencapaian kepuasan terhadap bantuan tersebut serta memberikan respons kembali,” jelas Olivia.

Oleh karena itu, Olivia mengajukan permintaan kepada MK agar menegaskan bahwa wewenang otoritas pusat yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 24 ayat (3), serta Pasal 28D ayat (1).

“Maka dari itu, hal tersebut mengakibatkan adanya gangguan fungsi serta menciptakan keraguan tentang penempatan kekuasaan pemerintah sentral dalam proses ekstradisi atau memberikan dukungan saling melengkapi terkait kasus-kasus hukum pidana,” jelasnya.

Di samping itu, dalam permohonannya, pemohon juga menuntut agar MK mendeklarasikan bahwa Pasal 21 UU Ekstradisi bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat atau Conditionally Unconstitutional serta tidak memiliki efektivitas hukum selama pasal tersebut tidak diinterpretasi demikian.

Apabila seseorang mengalami tahanan, orang itu akan dilepaskan oleh Jaksa Agung apabila setelah masa tertentu semenjak ditahannya, Presiden melalui Jaksa Agung tidak merespons permohonan ekstradisi beserta dokumen sesuai dengan Pasal 22 dari negara pemohon.

Post Comment