Perang Tarif Bayangi Emiten Sektor Barang Konsumsi, Cek Rekomendasi Analis


.CO.ID – JAKARTA

.

Tarif pajak ekspor-impor yang berpotensi berubah akibat tekanan global menjadi salah satu sentimen berpengaruh terhadap emiten-emiten sektor barang konsumsi.

Tarif pajak tinggi yang ditetapkan Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Indonesia akan menjadi tekanan tersendiri bagi produsen domestik. Analis Kiwoom Sekuritas Abdul Azis menyebut, itu juga dapat mempengaruhi kinerja emiten barang konsumsi.

“Ketidakpastian global secara tidak langsung mempengaruhi kinerja dari emiten barang konsumsi, dengan kebutuhan bahan baku yang masih impor,” kata Abdul kepada , Jumat (25/4).

Misalnya pada PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan pasar luar negeri yang besar. Di satu sisi, ini adalah keuntungan karena artinya perseroan tidak hanya bergantung pada pasar domestik yang daya belinya melemah. Namun di sisi lain, MYOR mungkin perlu menggelontorkan dana lebih untuk pajak ekspor.

Sebaliknya, Analis Sinarmas Sekuritas Vita Lestari menganggap bahwa beban pajak yang tinggi di Indonesia dapat mendorong pemerintah untuk menurunkan tarif pajak eksportasi untuk CPO atau crude palm oil. Hal ini berpotensi memberikan dorongan positif kepada perusahaan-perusahaan sektor konsumen seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).

“Penelitian yang disampaikan Vita pada tanggal 16 April 2025 mencatat bahwa hal ini bisa menurunkan biaya produksi bagi produsen hingga 5%,” demikian tertulis dalam laporannya.

Pada saat ini, pengiriman minyak sawit dari Indonesia terkena tiga jenis tarif secara bersamaan yaitu tanggungan pasar dalam negeri yang disebut Obligasi Pasar Domestik (OPD), pajak ekspor, serta Bea Keluar (BK).

Rencana pengurangan tarif pajak eksportasi diharapkan bisa memperkuat kompetitivitas ekspor kelapa sawit mentah milik Indonesia, khususnya ketika dibandingkan dengan Malaysia, sambil menjamin kerangka harga yang lebih menguntungkan.

Namun, Vita juga mempersiapkan diri untuk kemungkinan peningkatan harga minyak kelapa sawit (CPO). “Melihat adanya ketegangan dagang saat ini, terutama dengan China, yang menjadi pasar ekspor utama CPO kedua di Indonesia,” ujarnya.

Ini berarti, seluruh arah regulasi pajak ekspor-impor tersebut masih belum jelas.

Kebijakan tariff Amerika Serikat saat ini memang masih tertunda, namun Indonesia dan beberapa negara lain yang juga menghadapi bea masuk tinggi tetap mencoba melakukan negosiasi. Sampai dengan putusan akhir dibuat, banyak skenario mungkin terjadi sejalan dengan efek dari peraturan impor-eksport di Indonesia yang dampak konkretnya belum dapat diprediksi.

Di bidang produk konsumer, Abdul menyarankan entitas anak dari INDF, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), dengan penilaian beli serta harga sasaran mencapai Rp 12.350 per saham. Di sisi lain, Vita mengusulkan tingkat ADD bagi INDF, dengan tujuan harga hingga penghujung tahun ini adalah di angka Rp 8.400 per saham.

Post Comment